WE.CO.ID
- Diandra, murid SD Beji V, di Kota Depok yang bulan depan akan naik ke
kelas VI sudah tahu dari ibunya bahwa ujian nasional (UN) ditiadakan
bagi sekolah dasar (SD) mulai tahun ajaran 2013/2014.
Meskipun bocah perempuan itu belum paham tentang seluk beluk UN, namun dia mengaku lega, "karena menurut cerita kakak-kakak kelas aku, UN itu menakutkan dan membuat mereka stres. Pokoknya horor," katanya.
Mulai tahun depan, siswa SD/sederajat yang hendak naik jenjang pendidikan ke SMP/sederajat tidak perlu lagi mengikuti UN, karena pemerintah secara resmi menghapus UN untuk jenjang SD. Kebijakan tersebut muncul sebagai konsekuensi penerapan kurikulum baru yang berbasis tematik integratif.
Penghapusan UN SD ini tertuang dalam Pasal 67 Ayat 1a PP No. 32/2013 tentang Perubahan atas PP No. 19/2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal itu berbunyi: ujian nasional untuk satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat.
Dalam PP No. 32/2013, yang dihapus adalah UN. Namun, untuk sistem evaluasi akhir akan dijalankan oleh masing-masing satuan pendidikan. Merujuk pada PP itu, yang disebut UN adalah penugasan evaluasi akhir yang dilakukan oleh Kemendikbud kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Berdasarkan ketentuan itu, sistem evaluasi akhir di SD mulai tahun depan bisa saja masih tetap ada, tetapi tidak lagi berbentuk UN dan tidak dikendalikan Kemendikbud. Selain bentuknya bakal berubah, fungsi ujian akhir nanti juga bukan lagi meluluskan atau tidak meluluskan siswa seperti saat ini dan diharapkan bisa lebih meningkatkan mutu pendidikan dasar.
Terkait penghapusan UN bagi SD ini, pakar dan konsultan pendidikan Munif Chatib menilai langkah ini sejalan dengan kurikulum baru yang akan diterapkan Juli 2013. "Dengan penerapan kurikulum pendidikan yang baru, pelaksanaan UN menjadi tidak penting lagi. Harusnya bukan hanya UN SD yang dihapus, namun untuk seluruh jenjang," katanya berharap.
Dia berpendapat, penerapan kurikulum baru sebenarnya menjadi jalan masuk untuk penghapusan UN seluruh jenjang pendidikan, sebab cara evaluasi pada kurikulum baru menggunakan pola "authentic assessment".
Menurut Munif, salah satu anggota Tim Penyusun Kurikulum 2013, evaluasi model pilihan ganda seperti dalam UN tidak "nyambung" dengan kurikulum baru. Juga UN memiliki rantai yang sangat panjang, mulai perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi ibarat "lingkaran setan" yang susah untuk diputus.
Penghapusan UN untuk SD/MI oleh pemerintah bukan hanya membuat para siswa lega, tetapi juga disambut gembira guru-guru dan kepala sekolah, bahkan jajaran dinas pendidikan meski mereka berharap tetap ada semacam evaluasi belajar bagai para siswa kelas 6 untuk menyesuaikan standar kompetensi kelulusan.
"Alhamdulillah, saya sangat bersyukur tahun depan UN SD dihapus. Penghapusan ini bisa mengurangi tingkat stres siswa kelas 6, orang tuanya termasuk para gurunya," kata Kepala SDN 1 Sidakangen, Kalimanah, Ummi Mukaromah.
Selain itu penghapusan UN ini akan menghemat biaya yang selama ini harus dikeluarkan sekolah. Kebijakan ini mendukung suksesnya Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun dari SD-SMP.
"Namun untuk menjaga mutu pendidikan perlu kendali atau kontrol terhadap siswa kelas 6 SD. Tetap perlu ada penilaian tetapi bukan UN lagi. Mungkin bisa ujian sekolah mengikuti kurikulum yang ada," ujarnya.
Saat bertugas di Semarang tahun 2003-2004, dia tidak mengalami UN SD. "Adanya ujian akhir yang dibuat sekolah. Namun untuk diterima di SMP, lulusan SD itu harus bisa lolos ujian masuk SMP." Kepala SDN 2 Purbalingga Lor, Sasno juga sependapat perlunya ada evaluasi terhadap siswa kelas 6. Namun bentuknya bukan UN atau ujian sekolah. Setiap sekolah mempunyai otoritas untuk mengetahui kemampuan siswanya.
Standarisasi soal Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sulawesi Selatan juga menyambut baik penghapusan UN untuk SD, karena angka kelulusan siswa SD di Sulsel sejak tiga tahun terkhir ini selalu di atas 100 persen. "Lulusan SD di seluruh Sulsel tidak diragukan lagi, karena itu kami setuju UN SD dihapuskan," kata Kadis Pendidikan Abdullah Djabbar.
Namun demikian Kemendikbud tetap melakukan standarisasi soal yang akan menggantikan peran UN SD, sebagai kisi-kisi agar bisa dijadikan acuan dalam pembuatan soal untuk ujian siswa. Penyelenggaraan ujian diserahkan sepenuhnya ke daerah masing-masing.
Direktur Pembinaan SD Kemendikbud, Ibrahim Bafadal menyebutkan, meski UN SD ditiadakan, bukan berarti tidak ada alat evaluasi bagi anak-anak yang duduk di bangku SD ini untuk ke jenjang selanjutnya. Hanya saja evaluasinya bisa dikerjakan oleh daerah masing-masing.
Sementara itu Persatuan Guru Seluruh Indonesia Jawa Tengah mengapresiasi penghapusan UN SD sebagai bentuk penghormatan terhadap penilaian guru. ?Seharusnya tidak hanya SD, tetapi UN secara keseluruhan dihapuskan," kata Ketua PGSI Jateng M. Zen Adv.
Walaupun sejumlah kepala sekolah di Kota Pekanbaru kurang setuju akan penghapusan UN SD karena dikhawatirkan akan semakin membuka kesempatan bagi beberapa pihak untuk kurang objektif dalam memberi nilai siswa. "Namun pada dasarnya, kami orang daerah ikut saja dengan aturan tersebut," kata Kepsek SDN 81 Pekanbaru, Yafril Ayub.
Menurut dia, faktanya masih ada sekolah yang lebih mementingkan gengsinya dibanding proses pendidikan siswanya. "Sekolah sengaja memberi nilai tinggi pada anak didiknya agar citra kualitas pendidikannya dianggap bagus oleh masyarakat dan nilai akreditasinya tinggi." Kepsek SD Kalam Kudus Pekanbaru, Nelson Pasaribu berpendapat, jika UN dihapus maka pihak sekolah tidak tahu sampai dimana siswa memahami pelajaran yang diajarkan. "Juga kalau siswa tahu bahwa mereka akan lulus semua, mereka bisa saja malas belajar. Ini mulai terlihat dampaknya." Menurut dia, semestinya UN tetap dilakukan untuk mengukur kemampuan siswa dengan daerah lainnya. UN juga mengurangi peluang untuk memberi nilai yang kurang objektif, karena meski siswa tidak lulus, sekolah tak bisa disalahkan. Sebaliknya, kalau ada sekolah yang takut UN, berarti mereka belum siap menghadapi UN.
Pakar pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof Dr M Furqon Hidayatullah setuju atas penghapusan UN SD karena tiga alasan. Pertama, adanya Wajar Sembilan Tahun, kedua, sistem pengembangan kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan tematik integratif. Ketiga berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak SD.
Menurut dia, pengganti UN untuk masuk SMP bisa dengan nilai rapor ataupun ujian seleksi. "Tanpa UN untuk masuk SMP tidak menjadi masalah, apalagi dengan pertimbangan Wajar Sembilan Tahun tersebut," katanya.
Kendati demikian Dekan FKIP ini menyebutkan, secara umum UN SD masih diperlukan sebagai pemetaan untuk mengetahui mutu pendidikan nasional. Karena menyangkut mutu nasional, wajar jika ada ujian secara nasional. Konsekuensinya sekolah harus memberdayakan diri dalam proses pembelajarannya. Pengukurnya, peningkatan akreditasi sekolah.
Seperti dikatakan Sekretaris Komisi D DPRD Kota Semarang, Fajar Adi Pamungkas bahwa penghapusan UN SD sudah tepat, hanya saja harus diikuti kesiapan infrastruktur pendukung terkait dengan ukuran masuk SMP, apakah cukup dengan nilai rata-rata rapor, karena nilai itu biasanya sangat berbeda antara sekolah satu dengan lainnya. (Ant)
(redaksi@wartaekonomi.com)
Meskipun bocah perempuan itu belum paham tentang seluk beluk UN, namun dia mengaku lega, "karena menurut cerita kakak-kakak kelas aku, UN itu menakutkan dan membuat mereka stres. Pokoknya horor," katanya.
Mulai tahun depan, siswa SD/sederajat yang hendak naik jenjang pendidikan ke SMP/sederajat tidak perlu lagi mengikuti UN, karena pemerintah secara resmi menghapus UN untuk jenjang SD. Kebijakan tersebut muncul sebagai konsekuensi penerapan kurikulum baru yang berbasis tematik integratif.
Penghapusan UN SD ini tertuang dalam Pasal 67 Ayat 1a PP No. 32/2013 tentang Perubahan atas PP No. 19/2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal itu berbunyi: ujian nasional untuk satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat.
Dalam PP No. 32/2013, yang dihapus adalah UN. Namun, untuk sistem evaluasi akhir akan dijalankan oleh masing-masing satuan pendidikan. Merujuk pada PP itu, yang disebut UN adalah penugasan evaluasi akhir yang dilakukan oleh Kemendikbud kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Berdasarkan ketentuan itu, sistem evaluasi akhir di SD mulai tahun depan bisa saja masih tetap ada, tetapi tidak lagi berbentuk UN dan tidak dikendalikan Kemendikbud. Selain bentuknya bakal berubah, fungsi ujian akhir nanti juga bukan lagi meluluskan atau tidak meluluskan siswa seperti saat ini dan diharapkan bisa lebih meningkatkan mutu pendidikan dasar.
Terkait penghapusan UN bagi SD ini, pakar dan konsultan pendidikan Munif Chatib menilai langkah ini sejalan dengan kurikulum baru yang akan diterapkan Juli 2013. "Dengan penerapan kurikulum pendidikan yang baru, pelaksanaan UN menjadi tidak penting lagi. Harusnya bukan hanya UN SD yang dihapus, namun untuk seluruh jenjang," katanya berharap.
Dia berpendapat, penerapan kurikulum baru sebenarnya menjadi jalan masuk untuk penghapusan UN seluruh jenjang pendidikan, sebab cara evaluasi pada kurikulum baru menggunakan pola "authentic assessment".
Menurut Munif, salah satu anggota Tim Penyusun Kurikulum 2013, evaluasi model pilihan ganda seperti dalam UN tidak "nyambung" dengan kurikulum baru. Juga UN memiliki rantai yang sangat panjang, mulai perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi ibarat "lingkaran setan" yang susah untuk diputus.
Penghapusan UN untuk SD/MI oleh pemerintah bukan hanya membuat para siswa lega, tetapi juga disambut gembira guru-guru dan kepala sekolah, bahkan jajaran dinas pendidikan meski mereka berharap tetap ada semacam evaluasi belajar bagai para siswa kelas 6 untuk menyesuaikan standar kompetensi kelulusan.
"Alhamdulillah, saya sangat bersyukur tahun depan UN SD dihapus. Penghapusan ini bisa mengurangi tingkat stres siswa kelas 6, orang tuanya termasuk para gurunya," kata Kepala SDN 1 Sidakangen, Kalimanah, Ummi Mukaromah.
Selain itu penghapusan UN ini akan menghemat biaya yang selama ini harus dikeluarkan sekolah. Kebijakan ini mendukung suksesnya Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun dari SD-SMP.
"Namun untuk menjaga mutu pendidikan perlu kendali atau kontrol terhadap siswa kelas 6 SD. Tetap perlu ada penilaian tetapi bukan UN lagi. Mungkin bisa ujian sekolah mengikuti kurikulum yang ada," ujarnya.
Saat bertugas di Semarang tahun 2003-2004, dia tidak mengalami UN SD. "Adanya ujian akhir yang dibuat sekolah. Namun untuk diterima di SMP, lulusan SD itu harus bisa lolos ujian masuk SMP." Kepala SDN 2 Purbalingga Lor, Sasno juga sependapat perlunya ada evaluasi terhadap siswa kelas 6. Namun bentuknya bukan UN atau ujian sekolah. Setiap sekolah mempunyai otoritas untuk mengetahui kemampuan siswanya.
Standarisasi soal Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Sulawesi Selatan juga menyambut baik penghapusan UN untuk SD, karena angka kelulusan siswa SD di Sulsel sejak tiga tahun terkhir ini selalu di atas 100 persen. "Lulusan SD di seluruh Sulsel tidak diragukan lagi, karena itu kami setuju UN SD dihapuskan," kata Kadis Pendidikan Abdullah Djabbar.
Namun demikian Kemendikbud tetap melakukan standarisasi soal yang akan menggantikan peran UN SD, sebagai kisi-kisi agar bisa dijadikan acuan dalam pembuatan soal untuk ujian siswa. Penyelenggaraan ujian diserahkan sepenuhnya ke daerah masing-masing.
Direktur Pembinaan SD Kemendikbud, Ibrahim Bafadal menyebutkan, meski UN SD ditiadakan, bukan berarti tidak ada alat evaluasi bagi anak-anak yang duduk di bangku SD ini untuk ke jenjang selanjutnya. Hanya saja evaluasinya bisa dikerjakan oleh daerah masing-masing.
Sementara itu Persatuan Guru Seluruh Indonesia Jawa Tengah mengapresiasi penghapusan UN SD sebagai bentuk penghormatan terhadap penilaian guru. ?Seharusnya tidak hanya SD, tetapi UN secara keseluruhan dihapuskan," kata Ketua PGSI Jateng M. Zen Adv.
Walaupun sejumlah kepala sekolah di Kota Pekanbaru kurang setuju akan penghapusan UN SD karena dikhawatirkan akan semakin membuka kesempatan bagi beberapa pihak untuk kurang objektif dalam memberi nilai siswa. "Namun pada dasarnya, kami orang daerah ikut saja dengan aturan tersebut," kata Kepsek SDN 81 Pekanbaru, Yafril Ayub.
Menurut dia, faktanya masih ada sekolah yang lebih mementingkan gengsinya dibanding proses pendidikan siswanya. "Sekolah sengaja memberi nilai tinggi pada anak didiknya agar citra kualitas pendidikannya dianggap bagus oleh masyarakat dan nilai akreditasinya tinggi." Kepsek SD Kalam Kudus Pekanbaru, Nelson Pasaribu berpendapat, jika UN dihapus maka pihak sekolah tidak tahu sampai dimana siswa memahami pelajaran yang diajarkan. "Juga kalau siswa tahu bahwa mereka akan lulus semua, mereka bisa saja malas belajar. Ini mulai terlihat dampaknya." Menurut dia, semestinya UN tetap dilakukan untuk mengukur kemampuan siswa dengan daerah lainnya. UN juga mengurangi peluang untuk memberi nilai yang kurang objektif, karena meski siswa tidak lulus, sekolah tak bisa disalahkan. Sebaliknya, kalau ada sekolah yang takut UN, berarti mereka belum siap menghadapi UN.
Pakar pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof Dr M Furqon Hidayatullah setuju atas penghapusan UN SD karena tiga alasan. Pertama, adanya Wajar Sembilan Tahun, kedua, sistem pengembangan kurikulum 2013 yang menggunakan pendekatan tematik integratif. Ketiga berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak SD.
Menurut dia, pengganti UN untuk masuk SMP bisa dengan nilai rapor ataupun ujian seleksi. "Tanpa UN untuk masuk SMP tidak menjadi masalah, apalagi dengan pertimbangan Wajar Sembilan Tahun tersebut," katanya.
Kendati demikian Dekan FKIP ini menyebutkan, secara umum UN SD masih diperlukan sebagai pemetaan untuk mengetahui mutu pendidikan nasional. Karena menyangkut mutu nasional, wajar jika ada ujian secara nasional. Konsekuensinya sekolah harus memberdayakan diri dalam proses pembelajarannya. Pengukurnya, peningkatan akreditasi sekolah.
Seperti dikatakan Sekretaris Komisi D DPRD Kota Semarang, Fajar Adi Pamungkas bahwa penghapusan UN SD sudah tepat, hanya saja harus diikuti kesiapan infrastruktur pendukung terkait dengan ukuran masuk SMP, apakah cukup dengan nilai rata-rata rapor, karena nilai itu biasanya sangat berbeda antara sekolah satu dengan lainnya. (Ant)
(redaksi@wartaekonomi.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar